Penjelasan Hadits Arba’in :
Meninggalkan Perkara yang Tidak Bermanfaat
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:«مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ
يَعْنِيْهِ». حَدِيْثٌ حَسَنٌ, رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَغَيْرُهُ هَكَذَا.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di
antara tanda kebaikan keIslaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang
tidak bermanfaat baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi
no. 2318 dan yang lainnya)
Derajat Hadits:
Derajat hadits ini adalah hasan
lighairihi (Syarh al-Arbain an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu
Syaikh, hal: 80). Sebab meskipun hadits ini menurut ulama ahli ‘ilal (Antara
lain Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan lain-lain) adalah mursal (Jami’
al-ulum wa al-Hikam, oleh Ibn Rajab, hal 207), akan tetapi ia memiliki syawahid
yang cukup banyak dengan redaksi yang semisal, sehingga menguatkannya dan
menjadikannya hasan lighairihi (Lihat takhrij hadits ini dalam
Shahih Kitab al-Adzkar wa Dha’ifuhu, 1013/774, 1130/884, 1244/978.
Dinukil dari Iqadzu al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al Ulum wa al-Hikam,
oleh Syaikh Salim al-Hilaly, hal 172)
Biografi Singkat Perawi Hadits (Lihat: Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, oleh
al-Mizzy, no: 8276, dan Siyar A’lam an-Nubala’, oleh adz-Dzahaby,
II/578-632)
Abu Hurairah bernama Abdurrahman bin
Shakhr ad-Dausy, berasal dari negeri Yaman. Beliau merupakan sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits musnad yang beliau riwayatkan
sebanyak 5374 hadits. Banyaknya hadits yang beliau riwayatkan membuat
orang-orang orientalis dan antek-anteknya merasa berkepentingan untuk
menjatuhkan kedudukan beliau, dengan tujuan agar kaum muslimin kehilangan
sebagian besar tuntunan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi
ulama kita bahu-membahu dalam membantah tuduhan-tuduhan keji mereka, serta
menyapu bersih syubhat-syubhat yang mereka lontarkan. Di antara buku-buka yang
ditulis dalam hal ini adalah: Al-Anwar al-Kasyifah fi Kitab Adhwa’ ‘ala
as-Sunnah min az-Zalal wa at-Tadhlil wa al-Mujazafah (Cahaya yang
menyingkap kesalahan, penyesatan dan sikap serampangan dalam kitab Adhwa’
‘ala as-Sunnah), yang ditulis oleh salah satu ulama besar negeri Yaman;
al-’Allamah Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimy (1313-1386 H). Pada tahun 57 H.
Abu Hurairah meninggal dunia, dalam usia 78 tahun.
Kedudukan Hadits Ini:
Hadits yang ada di hadapan kita ini
merupakan salah satu dasar pokok bidang akhlak dalam agama Islam. Imam Ibnu Abi
Zaid al-Qairawany menerangkan, “Adab-adab kebaikan terhimpun dan bersumber dari
4 hadits: hadits “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaknya berkata baik atau diam”, hadits “Salah satu pertanda kebaikan
Islam seseorang, jika ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya”,
hadits “Janganlah engkau marah”, dan hadits “Seorang mu’min mencintai
kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana ia mencintai kebaikan tersebut bagi
dirinya sendiri” (Jami’ al-Ulum wa Al-Hikam, hal 208).
Penjelasan Tentang Hadits Ini:
«
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ »
“Di antara tanda kebaikan keislaman
seseorang; jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”
“Min husni islamil mar’i” i’rabnya adalah khabar yang didahulukan.
Sedangkan “Tarku” adalah mubtada’ yang diakhirkan (Syarah
al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal
181)
Huruf min dalam hadits ini
jenisnya tab’idhiyyah (sebagian). Jadi makna hadits ini adalah:
meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat, merupakan sebagian dari
hal-hal yang bisa mendatangkan baiknya keislaman seseorang (Jami’ al-’Ulum,
hal 208)
Kapankah keislaman seseorang
dianggap baik? Para ulama berbeda pendapat:
1. Sebagian memandang bahwa kebaikan
Islam seseorang dicapai dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi
larangan-larangan. Dan ini adalah tingkatan golongan yang pertengahan, yang
disitir oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,
ثُمَّ
أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ
ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ
بِإِذْنِ اللهِ
“Kemudian kitab itu kami wariskan
kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara
mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, di antara mereka ada yang
pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32)
Orang yang baik keislamannya adalah
golongan pertengahan yang mengerjakan kewajiban-kewajiban dan sebagian yang
sunah, serta meninggalkan semua hal-hal yang diharamkan.
2. Pendapat kedua mengatakan: Kebaikan Islam seseorang
artinya: jika ia telah mencapai tingkatan ihsan yang disebutkan dalam hadits,
قَالَ:
فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ: «أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ,
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ»
Jibril bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Apakah ihsan itu?” Beliau menjawab: “Kamu beribadah
kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Seandainya engkau tidak mampu,
ketahuilah bahwasanya Dia itu melihatmu.” (HR. Muslim no: 93)
3. Pendapat ketiga memandang bahwa
kebaikan keislaman itu bertingkat-tingkat, masing-masing orang berbeda-beda
tingkatannya. Besarnya pahala dan keutamaan seseorang tergantung tingkatan
kebaikan keislaman dia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
«
إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ
لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ »
“Jika Islam salah seorang dari
kalian baik, maka setiap amal kebaikan yang ia lakukan akan dicatat (pahalanya)
sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat.” (HR. Bukhari no: 42)
Keterangan para ulama ahli
penelitian (tahqiq) mengatakan bahwa kebaikan keislaman itu bertingkat-tingkat,
tidak hanya satu level saja (menguatkan pendapat ketiga).
Hal lain yang perlu dikemukakan di
sini adalah bahwasanya agama Islam telah menghimpun segala macam bentuk
kebaikan. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy dalam hal ini telah mengarang
bukunya: “Mahasin al-Islam” (Keindahan-keindahan Agama Islam), demikian
pula Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad bin Salman mempunyai tulisan tentang
pembahasan ini. Dan perlu diketahui bahwa seluruh kebaikan ajaran Islam telah
terhimpun dalam dua kata yang disebutkan Allah dalam surat An Nahl ayat 90:
إِنَّ
اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh
(kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan.”
(QS. An-Nahl: 90) (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin, hal 158)
Al-’Inayah secara etimologi berarti: perhatian yang sangat terhadap
sesuatu, atau suatu hal penting yang diperhatikan. Jadi maksud dari “maa laa
ya’niih” adalah sesuatu yang tidak bermanfaat bagi pemerhatinya dan tidak
ada maslahat baginya (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih
Alu Syaikh, hal: 78)
Sesuatu yang tidak bermanfaat bagi
seorang muslim, bisa berbentuk perkataan bisa juga berbentuk perbuatan. Jadi
setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya baik itu untuk
kepentingan ukhrawi seorang muslim ataupun untuk kepentingan duniawinya,
seharusnya dia tinggalkan agar keislamannya menjadi baik (Lihat: Syarh
al-Arba’in Haditsan an-Nawawiyah, oleh Imam Nawawi hal: 40)
Bagaimana kita bisa mengetahui
apakah sesuatu itu termasuk bermanfaat bagi kita atau tidak? Apakah standar dan
patokan yang kita gunakan untuk menentukan suatu perbuatan itu termasuk
bermanfaat bagi seorang muslim atau tidak?
Ketahuilah bahwa standar yang harus
kita gunakan dalam masalah ini adalah syariat dan bukan hawa nafsu. Mengapa?
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan “meninggalkan
suatu hal yang tidak bermanfaat” sebagai tanda dari kebaikan keislaman
seseorang. Ini menunjukkan bahwa patokan yang harus kita gunakan dalam
menilai bermanfaat tidaknya suatu perbuatan adalah syariat Islam. Hal ini perlu
ditekankan karena banyak orang yang salah paham dalam memahami hadits ini,
sehingga dia meninggalkan hal-hal yang diwajibkan syariat atau disunahkan,
dengan alasan bahwa hal-hal itu tidak bermanfaat baginya (Qawa’id wa Fawaid
min al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Nadzim Sulthan, hal: 123, dan Bahjah
an- Nadzirin Syarh Riyadh ash-Shalihin, oleh Salim al-Hilaly I/142). Insya
Allah di akhir penjelasan hadits akan kita bawakan contoh dari kesalahpahaman
tersebut.
Adapun sekarang, maka terlebih
dahulu akan kita datangkan contoh hal-hal yang tidak bermanfaat bagi seorang
muslim, antara lain:
1. Maksiat atau hal-hal yang
diharamkan oleh Allah ta’ala. Dan ini hukumnya wajib untuk ditinggalkan
oleh setiap manusia (Bahjah al-Qulub al-Abrar wa Qurrat ‘Uyun al-Akhbar fi
Syarh Jawami’ al-Akhbar, oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy, hal: 137).
Karena dia bukan hanya tidak bermanfaat, tapi juga membahayakan diri sendiri,
baik di dunia maupun di akhirat. Di antara bahaya yang ditimbulkan maksiat di
dunia adalah: mengerasnya hati dan menghitam, hingga cahaya yang ada di
dalamnya padam. Akibatnya, dia pun menjadi buta jadi tidak bisa membedakan mana
yang haq dan mana yang batil (Lihat: Badai’ at-Tafsir al-Jami’ li Tafsiri
Ibn al-Qayyim, oleh Yusri as-Sayyid Muhammad, V/153-155, dan Taisir
al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, oleh Syaikh Abdurrahman
as-Sa’dy, hal 916). Akibat buruk ini telah dijelaskan oleh Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam,
«
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكْتَتُ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةً
سَوْدَاءَ, فَإِنْ هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صَقلَ قَلْبُهُ, وَإِنْ زَادَ زِيْدَ
فِيْهَا حَتَّى تَعْلُو قَلْبُهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللهُ كَلاَّ
بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ.»
“Jika seorang hamba berbuat sebuah
dosa, maka akan ditorehkan sebuah noktah hitam di dalam hatinya. Tapi jika ia
meninggalkannya dan beristigfar niscaya hatinya akan dibersihkan dari noktah
hitam itu. Sebaliknya jika ia terus berbuat dosa, noktah-noktah hitam akan
terus bertambah hingga menutup hatinya. Itulah dinding penutup yang Allah
sebutkan dalam ayat (Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu
mereka kerjakan itu menutup hati mereka)” (QS.al-Muthaffifin:
14) (HR Tirmidzi dan Ibn Majah serta dihasankan oleh Syaikh Al Albani). Adapun
di akhirat, maka orang yang gemar berbuat maksiat, diancam oleh Allah untuk
dimasukkan ke dalam neraka, na’udzubillah min dzalik.
2. Hal-hal yang dimakruhkan dalam
agama kita, juga berlebih-lebihan dalam mengerjakan hal-hal yang diperbolehkan
agama, yang sama sekali tidak mengandung manfaat, malah justru terkadang
menghalangi seseorang dari berbuat amal kebajikan (Bahjah al-Qulub al-Abrar,
hal: 137, lihat pula: Syarh al-Arbain oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh,
hal: 80). Di antara yang harus mendapat porsi terbesar dari perhatian kita
adalah masalah lisan. Imam an-Nawawi menasihatkan, “Ketahuilah, seyogianya
setiap muslim berusaha untuk selalu menjaga lisannya dari segala macam bentuk
ucapan, kecuali ucapan yang mengandung maslahat. Jikalau dalam suatu ucapan,
maslahat untuk mengucapkannya dan maslahat untuk meninggalkannya adalah
sebanding, maka yang disunnahkan adalah meninggalkan ucapan tersebut. Sebab
perkataan yang diperbolehkan terkadang membawa kepada perkataan yang diharamkan
atau yang dimakruhkan. Dan hal itu sering sekali terjadi. Padahal keselamatan
(dari hal-hal yang diharamkan atau dimakruhkan) adalah sebuah (mutiara) yang
tidak ternilai harganya.” (Riyadh ash-Shalihin, hal: 483)
Pengalaman membuktikan bahwa
perkataan yang baik, indah dan yang telah dipertimbangkan secara bijak, atau
mencukupkan diri dengan diam, akan mendatangkan kewibawaan dan kedudukan dalam
kepribadian seorang muslim. Sebaliknya, banyak bicara dan gemar ikut campur
perkara yang tidak bermanfaat, akan menodai kepribadian seorang muslim,
mengurangi kewibawaan dan menjatuhkan kedudukannya di mata orang lain (Qawa’id
wa Fawaid, hal: 123)
Imam Ibnu Hibban berpetuah, “Orang
yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada
mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan
diberi mulut hanya satu; adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada
berbicara. Sering kali seseorang menyesal di kemudian hari akibat perkataan
yang ia ucapkan, sementara diamnya dia tidak akan pernah membawa penyesalan.
(Perlu diketahui pula) bahwa menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan
adalah lebih mudah daripada mencabut perkataan yang telah terlanjur diucapkan.
Karena biasanya jika seseorang tengah berbicara, maka kata-katanyalah yang akan
menguasai dirinya, sebaliknya jika tidak berbicara, maka ia mampu untuk
mengontrol kata-katanya (Raudhah al-’Uqala wa Nuzhah al-Fudhala, hal:
45, dinukil dari Rifqan Ahl as-Sunnah bi Ahl as-Sunnah Menyikapi Fenomena
Tahdzir dan Hajr, oleh Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafidzhahullah,
hal 31)
Banyak orang meremehkan
perkataan-perkataan yang terlepas dari lisannya, serta tidak mempedulikan
dampak baik buruknya. Padahal jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah memperingatkan,
«
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا ,
يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدُ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ »
“Seringkali seorang hamba
mengucapkan suatu perkataan yang tidak ia pikirkan dampaknya, padahal ternyata
perkataan itu akan menjerumuskannya ke neraka yang dalamnya lebih jauh dari
jarak timur dengan barat” ( HR.
Bukhari, no: 6477, dan Muslim, no: 7407)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar